
Coba kita ingat sejenak — kapan terakhir kali kamu melihat capung beterbangan di atas sawah yang baru tergenang air?
Dulu, ketika matahari pagi menembus embun, capung-capung berwarna hijau, biru, dan merah sering menari di atas pematang. Mereka hinggap di batang padi muda, berputar di udara, lalu kembali menukik dengan gerakan presisi. Kini, pemandangan itu mulai langka. Sawah terasa sepi, seolah ada satu bagian kehidupan yang hilang.
🧬 Capung: Serangga Purba Penjaga Ekosistem
Capung termasuk dalam ordo Odonata, salah satu kelompok serangga tertua di bumi yang telah hidup lebih dari 300 juta tahun. Dari masa prasejarah hingga era pertanian modern, capung telah menjadi komponen penting ekosistem perairan dan daratan.
Siklus hidupnya terdiri dari dua fase:
- Nimfa (larva) – hidup di air, bernapas melalui insang, dan menjadi predator bagi jentik nyamuk serta serangga kecil lainnya.
- Dewasa (imago) – hidup di udara, terbang bebas berburu hama seperti wereng, lalat, dan nyamuk.
Fase hidup ganda inilah yang menjadikan capung sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Air yang keruh, tercemar, atau mengandung bahan kimia beracun akan langsung mengancam kehidupannya sejak dalam bentuk nimfa. Maka tak heran, keberadaan capung sering dijadikan indikator kualitas lingkungan — jika banyak capung, berarti air dan udara di sekitar masih sehat.
🌾 Peran Ekologis Capung di Sawah
Dalam ekosistem persawahan, capung bukan sekadar penghias pemandangan. Ia berperan sebagai predator alami yang membantu petani mengendalikan populasi hama.
Capung dewasa mampu memangsa hingga ratusan serangga kecil setiap hari, termasuk wereng (Nilaparvata lugens) dan nyamuk sawah yang dapat membawa penyakit. Sementara nimfa capung di genangan air sawah menjaga keseimbangan mikrofauna perairan agar tidak didominasi oleh satu jenis organisme saja.
Dengan kata lain, kehadiran capung mendukung sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara alami — tanpa pestisida, tanpa biaya tambahan, dan tanpa dampak lingkungan negatif. Mereka bekerja senyap, namun berperan besar dalam menjaga produktivitas pertanian berkelanjutan.
⚠️ Mengapa Capung Kian Menghilang?
Sayangnya, keseimbangan itu kini terancam. Populasi capung terus menurun di banyak daerah pertanian di Indonesia. Penyebabnya kompleks, namun saling berkaitan:
- Penggunaan pestisida kimia berlebihan
Pestisida tidak hanya membunuh hama sasaran, tetapi juga berdampak pada organisme non-target seperti capung. Sisa pestisida yang larut ke dalam air sawah menyebabkan nimfa mati sebelum sempat bermetamorfosis. - Penyusutan lahan basah dan habitat alami
Banyak sawah dan rawa yang berubah fungsi menjadi perumahan atau kawasan industri. Hilangnya genangan air dangkal menghilangkan tempat berkembang biak bagi capung. - Pencemaran air dan tanah
Limbah pertanian, sabun deterjen rumah tangga, hingga residu pupuk anorganik mencemari aliran irigasi. Kondisi ini menghambat perkembangan telur dan nimfa yang sangat sensitif terhadap kualitas air. - Perubahan iklim dan suhu ekstrem
Peningkatan suhu global dan perubahan pola curah hujan mempengaruhi siklus hidup capung, terutama pada fase nimfa yang bergantung pada kestabilan suhu air.
Akibatnya, sawah yang dulu penuh kehidupan kini menjadi lebih “sunyi”. Tidak hanya capung yang hilang, tetapi juga keanekaragaman hayati kecil lainnya yang menjadi penopang sistem ekologi pertanian.
🌍 Capung sebagai Cermin Ekologis
Keberadaan capung dapat diibaratkan seperti detak jantung alam — ketika populasinya menurun, itu pertanda lingkungan sedang sakit.
Di Jepang, Tiongkok, dan beberapa negara Eropa, jumlah capung bahkan dijadikan indikator biologis nasional untuk memantau kualitas perairan dan tingkat pencemaran lingkungan.
Artinya, hilangnya capung bukan sekadar kehilangan satu spesies serangga, melainkan peringatan ekologis bahwa air, tanah, dan udara kita tidak lagi sehat.
🌱 Harapan dari Sawah yang Ramah Lingkungan
Namun, harapan masih ada. Beberapa petani di Indonesia mulai menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan seperti pengendalian hama terpadu (PHT), pengurangan pestisida sintetis, dan konservasi lahan basah. Ketika sawah dikelola tanpa racun berlebih, vegetasi tepi sawah dibiarkan tumbuh alami, dan air tetap jernih, capung perlahan mulai kembali.
Capung bukan sekadar serangga indah dengan sayap transparan yang berkilau di bawah sinar matahari. Ia adalah penjaga ekosistem kecil yang menandai bahwa alam sedang seimbang.
Dan mungkin, jika suatu pagi nanti kita kembali melihat capung menari di atas air sawah, itu bukan hanya pertanda musim tanam — tetapi juga pertanda bahwa alam mulai pulih.
Penulis:
H. Wahyudi, S.P